Sabtu, 30 Agustus 2008

PESIMISME TEKNOLOGI 3G

TANPA banyak publikasi, apalagi konsultasi publik, pemerintah akhirnya membuka tender lisensi Generasi Ketiga (3G). Akhir Juli lalu merupakan batas akhir pengajuan proposal. Rupanya, peminatnya cukup banyak. Di kantor Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Departemen Perhubungan, sudah menumpuk sepuluh nama pemohon yang antre. Rencananya, proposal itu akan diproses selama sekitar tiga bulan hingga penentuan pemenang tender. Artinya, sebelum akhir tahun 2003, sudah ada pemegang lisensi seluler 3G.

Sejumlah nama operator telekomunikasi terkemuka di dunia turut andil dalam tender dalam bentuk afiliasi dengan perusahaan lokal. Antara lain, Vodafone Inggris, Hutchison Hong Kong dan Telekom Malaysia. Juga ada operator dari Perancis dan Italia. Sementara operator dari Australia, Singapura dan Jepang kali ini absen. Mereka biasanya agresif, makanya keabsenan mereka agak mengherankan. Bagi peminat lisensi seluler 3G, pemerintah telah menetapkan syarat bahwa afiliasi dengan operator telekomunikasi internasional setidaknya harus memiliki satu juta pelanggan aktif.

Tidak jelas benar apa alasan pemerintah membuka tender lisensi 3G. Benarkah Indonesia memang memerlukan teknologi telekomunikasi canggih ini? Siapa sajakah yang perlu teknologi 3G? Berapa banyak jumlah mereka? Bagi operator sendiri, apakah pasarnya memang feasible? Pertanyaan-pertanyaan beruntun ini dilontarkan Sekretaris Jenderal Masyarakat Telekomunikasi (Mastel), Nies Purwati. Menurut Purwati, pemerintah sendiri nampak begitu tergesa-gesa dan menutup-nutupi membuka lisensi ini. “Kalangan industri terkaget-kaget saat tender 3G diumumkan karena tak ada konsultasi publik,” katanya.

Ketua Mastel Mas Wigrantoro Roes Setiyadi menimpali. Ia merujuk proses alur kebijakan yang lazim. Di sejumlah negara maju, kata Wigrantoro, pemerintah selalu mengeluarkan dahulu draft kebijakan sebelum mengeluarkan kebijakan yang sangat penting. Biasanya ada draft dalam bentuk green paper, kemudian dicari masukan dari masyarakat, setelah itu dikeluarkan lagi white paper, dan kemudian masukan-masukan dari masyarakat akan dipertimbangkan oleh regulator dan akhirnya menjadi kebijakan negara. “Proses demikian membuat masyarakat dapat berpartisipasi dalam proses formulasi dari kebijakan di negara itu, namun di Indonesia proses ini tidak terjadi,” katanya.

Mandat agar melibatkan masyarakat dalam perumusan kebijakan semacam itu diamanatkan oleh UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Tapi, pemerintah tidak mematuhinya. Pemerintah tidak mengumumkan dulu rencana kebijakan dan pengaturannya secara formal, baik melalui surat kabar atau website. Menurut UU itu, masyarakat yang ingin menanggapi, kata Purwati, harus menyerahkan tanggapannya secara formal dan mengikuti kaidah-kaidah yang ditetapkan. Dengan demikian tidak timbul kesan ada informasi yang dirahasiakan. Di sisi lain, regulator dapat memperoleh masukan-masukan yang berharga dari berbagai kalangan masyarakat bagi sempurnanya sebuah kebijakan publik.

Suara bernada protes juga muncul dari Senayan. Anggota Komisi IV DPR RI Rosyid Hidayat mempertanyakan langkah pemerintah dalam membuka tender penyelenggaraan seluler 3G. “Kesannya pemerintah ujug-ujug [tiba-tiba] mengeluarkan pengumuman mengenai tender 3G,” ujar Hidayat. Tapi suara-suara bernada protes itu dianggap angin lalu oleh Dirjen Pos dan Telekomunikasi, Djamhari Sirat. Ia menepis anggapan bahwa penerbitan izin seluler 3G berlangsung tiba-tiba. Salah satu bukti bahwa perhatian industri terhadap seluler 3G sudah cukup besar, menurut Sirait, adalah jumlah peminat yang mengajukan diri untuk memperoleh lisensi mencapai 10 kelompok usaha.

Sebetulnya, yang dipersoalkan kalangan yang kurang setuju lebih tertuju pada gugatan seperti yang dilontarkan oleh Nies Purwati. Kalangan ini menilai, Indonesia belum saatnya memakai teknologi telepon seluler 3G. Singapura saja, akhirnya menunda implementasi 3G karena investasi yang dibutuhkan sangat mahal. Dari sisi teknologi pun, belum banyak negara di dunia yang berhasil menggunakan 3G sebagai sebuah model bisnis yang menjanjikan, apalagi menguntungkan. Ini persoalan mendasar dalam bisnis.

Sekarang saja, berbagai operator telekomunikasi dunia dengan penetrasi telepon seluler (ponsel) tertinggi di dalam masyarakatnya sekalipun masih terus berdebat secara serius dan mendalam apakah akan langsung menggunakan teknologi 3G sebagai koneksi bergerak (m-access), atau perlu masuk dulu ke jembatan GPRS (general packet radio services) atau UMTS (universal mobile telecommunication system) yang masuk katagori 2,5G. Para operator memang terpesona oleh keberhasilan DoCoMo di Jepang dengan 3G-nya, yang kini malah dilanjutkan dengan penelitian serius soal teknologi 4G (baca: “Jembatan Menuju 3G”; eBizz Asia, April 2003, halaman 54-57).

Tapi sesungguhnya keberhasilan DoCoMo di Jepang dengan fasilitas akses informasi yang always-on tidak bisa dijadikan patokan. Sebab, keberhasilan sebuah aplikasi teknologi tidak semata-mata ditentukan oleh teknologi, tapi juga dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan masyarakat. Kesuksesan DoCoMo tak bisa dilepaskan dari minat dan kesukaan membaca yang tinggi. Selain itu, karena sifat masyarakatnya yang bermobilitas tinggi menggunakan berbagai transportasi umum pergi dan pulang kerja, memunculkan kebiasaan untuk mengisi waktu luang mereka dalam perjalanan dengan membaca. Jika dulu mereka membaca koran atau majalah, kini mereka memain-mainkan ponsel.

Dari segi investasi dan bisnis, penggunaan teknologi UMTS atau 3G yang bisa mencapai kecepatan 2 Mbps — bandingkan dengan GPRS yang berkecepatan maksimum 115 Kbps — merupakan pilihan yang dilematis karena akan punya dampak luas terhadap proyeksi dan kelayakan bisnis yang akan dikembangkan. Persoalannya akan kembali pada pertanyaan mendasar, orang seperti apa yang ingin menggunakan teknologi 3G? Memang, banyak orang yang terpesona oleh keberhasilan jasa SMS (short message services) oleh teknologi 2G yang kini mencapai 15 juta per hari. Dengan 3G, nantinya orang akan bisa melakukan aplikasi mulai dari mobile internet berkecepatan tinggi, location-based service, mobile shopping, multi-party video conference, video streaming, click2dial, unified electronic mail, hingga MP3 mobile downloading. “Tapi siapa dan berapa banyak di Indonesia yang memerlukan akses berkecepatan hingga 2 Mbps tersebut?,” tanya pengamat telekomunikasi Indra Gunawan.

Pada saat ini, lalu lintas pesan multimedia (multimedia message services/MMS) yang terjadi di teknologi 2,5G (GPRS) baru mencapai 20.000 MMS per hari. “Entah kapan MMS akan bisa mendekati SMS,” tanya Gunawan. Boleh jadi, para operator tergiring oleh data yang dilansir oleh Ovum, sebuah perusahaan konsultan dan survei ternama dunia, diperkirakan bahwa pada tahun 2006 jumlah pengguna SMS dunia akan mulai menurun (dari sekitar 1.000 miliar per tahun), sementara pengguna MMS akan naik tajam (berkisar 350 miliar pesan per tahun) pada tahun yang sama. Sekitar 3-4 tahun kemudian, jumlahnya diperkirakan akan sama. “Saya tidak yakin itu bisa terjadi di Indonesia dalam waktu yang sama,” kata Gunawan.

Di tingkat dunia, suara pesimis sudah lama terdengar. Nicholas Negroponte, bapak cyber space itu pernah mengatakan bahwa pelanggan seluler akan cukup puas dengan GPRS yang mampu memberikan kecepatan data maksimal 115 Kbps dan komunikasi yang selalu “on”. Memang agak susah membayangkan pelanggan yang bisa nyaman menjelajah Internet di terminal berlayar kecil dan beresolusi rendah seperti sekarang, meski sudah tersedia bandwidth data lebar seperti yang ditawarkan 3G. Di luar itu, banyak hal masih harus disiapkan agar inter-operabilitas antar operator dan antar pengguna ponsel dengan berbagai platform bisa dilakukan dengan mulus dan lancar. Kerja sama roaming antara operator baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional, misalnya, menjadi salah satu prasyarat yang penting.

Masalahnya, soal-soal “administratif” inilah perdebatannya panjang, dan kita sering ketinggalan. Salah satunya soal penarifan. Memakai pengguna MMS pada GPRS dengan tarif yang masih diskon (Rp 20/kb) sebagai patokan bisa saja menyesatkan. “Pemanfaatan MMS dan teknologi 3G memang membutuhkan banyak prasyarat,” kata Andreas Fasbender, Direktur Sony Ericsson Cyberlab Singapura. MMS tidak akan banyak diminati bila tidak tersedia penyedia-penyedia content yang menarik untuk para pengguna. Teknologi itu pun tidak akan bisa dimanfaatkan bila infrastruktur jaringannya juga tidak memadai. “Kita juga jangan lupa dengan kemampuan handset itu sendiri, karena bagaimana spesifikasi handset juga sangat menentukan untuk bisa menggunakan MMS dan memanfaatkan jaringan GPRS secara maksimal,” papar Fasbender.

Namun, kelompok yang optimistis bukan tidak ada. Mereka umumnya menganggap penggelaran 3G secara massal hanya tertunda. “Suara dan teks saja kini sudah tidak cukup. Orang membutuhkan gambar dan berbagai paket informasi dan hiburan yang sekaligus menampilkan ketiganya, suara, teks, dan gambar,” kata Jan Wereby, Corporate Executive Vice President sekaligus Head of sales and Marketing Sony Ericsson. Sekarang, kata Wereby, teknologi sudah memungkinkan dengan berkembangnya layanan MMS, serta jaringan untuk pengirimannya baik itu GPRS (General Packet Radio Service), UMTS, maupun CDMA (Code Division Multiple Access) 2000 atau WCDMA (Wideband CDMA).

Fenomena ini disadari betul oleh pabrikan pembuat ponsel. Selain Sony Ericsson, pabrikan Nokia, Siemens, Panasonic, dan banyak lagi produsen ponsel lainnya pun memasarkan produk terbaru mereka dengan spesifikasi hampir serupa. Masing-masing pabrikan itu menawarkan produk yang menyajikan berbagai fasilitas layanan kepada calon pemakainya, mulai dari melakukan pembicaraan telepon biasa, menikmati musik MP3, memotret dan kemudian mengirimkan obyek atau gambar hasil pemotretan, sampai pengiriman dan pengambilan data dengan kecepatan tinggi dari situs-situs Internet, bahkan bermain game dengan lawan dari tempat yang tidak kita kenal sebelumnya.

Menikmati sajian film pun kini bisa anda lakukan di mana pun selama jaringan telekomunikasi nirkabelnya tersedia (video on demand). Fungsi dari ponsel tidak lagi sebatas alat untuk berkomunikasi, tetapi juga media untuk mencari ilmu pengetahuan, bertukar pikiran, sekaligus sebagai alat hiburan. Jika pada waktu lalu bentuk dari hiburan itu hanya sebatas game yang sudah terinstal di dalam ponsel, di era 3G game itu bisa kita ambil dari situs-situs Internet, bahkan kita pun bisa menghibur diri dengan mengirimkan klip video kita kepada orang yang kita sayangi.

Inilah yang membuat banyak pakar telekomunikasi sependapat bahwa aktivitas mobile Internet akan mengubah kehidupan umat manusia di berbagai belahan dunia secara drastis. Internet bergerak ini membuat manusia lebih mudah beraktivitas, sehingga diyakini penggunaan Internet bergerak akan semakin meningkat seiring dengan kemampuan teknis dalam peranti ponsel yang semakin tinggi dan lebih banyak lagi layanan inovatif diperkenalkan ke masyarakat.

Jika pada awal tahun 1980-an, analis pasar memperkirakan pengguna ponsel akan mencapai satu juta orang pada tahun 2000. Sekarang, angka pengguna ponsel di seluruh dunia berkisar satu miliar dengan tingkat pertumbuhan rata-rata per hari sekitar 1,3 juta pengguna baru. Tidak heran bila pada tahun 2001 lalu, jumlah pengguna ponsel di seluruh dunia diperkirakan sudah melampaui jumlah pengguna telepon tidak bergerak (fixed line).

Pada milenium ketiga ini, teknologi telekomunikasi nirkabel memang menunjukkan kecenderungan yang semakin mengerucut. Dua ekstrem besar teknologi jaringan digital nirkabel kini tengah diupayakan untuk bisa dijembatani, yaitu antara teknologi GSM yang kemudian semakin maju dengan teknologi GPRS, dengan teknologi CDMA yang berkembang dengan CDMA 2000 dan WCDMA. Idealnya, para vendor bisa menyediakan semuanya sekaligus sehingga konsumen bisa memiliki pilihan yang banyak. “Tetapi kami juga memahami, investasinya memang tidak murah dan mungkin pasar di suatu daerah pun belum tentu bisa menyerap semuanya,” kata Jan Wereby. Namun, ia cenderung melihat teknologi GPRS yang akan lebih berkembang di masa depan, karena 70 persen teknologi seluler yang dipakai di seluruh belahan dunia berbasis GSM.

Keyakinan akan lebih unggulnya penggunaan jaringan GPRS juga disampaikan pimpinan Nokia Mobile Phone, Matti Alahutta. Menurut dia, kehadiran MMS, layar berwarna, Java dan kode xHTML baru, merupakan kebutuhan yang sudah lama dinanti-nantikan konsumen. Akhirnya semua terserah kita, apakah akan memanfaatkan berbagai kemudahan yang ditawarkan itu, tentunya dengan imbalan biaya yang harus kita bayarkan lebih besar pula. Konsumen Indonesia boleh menepuk dada bahwa tidak lama lagi mereka akan bisa menikmati teknologi 3G. Namun, isu mendasarnya tetap pada soal tarif.

Seperti yang terjadi di banyak negara Asia lainnya, para operator jaringan cenderung sangat berhati-hati untuk mengembangkan jaringannya dan menyerap teknologi 3G. Alasannya, selain soal investasi yang besar, pengembalian investasi itu pun sangat tergantung dari kesiapan pihak-pihak lain di luar operator itu sendiri.

Ketersediaan jaringan 3G tanpa didukung para pengembang content, misalnya, akan membuat investasi yang mahal itu tidak termanfaatkan secara maksimal. Begitu juga dengan kesiapan masyarakat penggunanya. Jika konsumen di Indonesia merasa belum memerlukan ponsel sebagai alat untuk mencari data dan informasi, serta alat hiburan, maka ketersediaan teknologi 3G hanya akan menjadi beban biaya bagi operator. •KI

Tidak ada komentar: